Tokyo – Jumlah rasmi mangsa korban dan yang belum ditemui akibat gempa dan tsunami Jepun mencapai 16,600 orang, dengan 6,405 orang dinyatakan terkorban setakat ini.
Polis Nasional Jepun menyatakan, hingga saat ini jumlah korban yang belum ditemukan sejak gempa dan tsunami pada minggu lalu, menjadi 10,259 orang dan 2,409 orang tercedera.
Jumlah korban terus bertambah dalam beberapa hari ini dan jumlah tersebut boleh menjadi lebih tinggi.
Dikutip dari Kyodo, Ketua Wilayah, Ishinomaki di Wilayah Miyagi mengatakan, jumlah korban yang masih belum ditemukan kemungkinan mencapai 10 ribu orang.
Pada Sabtu minggu lalu, NHK melaporkan sekira 10 ribu orang masih belum ditemukan di kota Minamisanriku di Wilayah Miyagi.
Di tengah usaha penyelamatan terdapat khabar duka banyaknya nyawa yang hilang di sepanjang pesisir timur Pulau Honshu dimana gelombang besar merosakkan lebih dari 55,380 rumah dan bangunan lainnya.
Polis Nasional Jepun menyatakan, hingga saat ini jumlah korban yang belum ditemukan sejak gempa dan tsunami pada minggu lalu, menjadi 10,259 orang dan 2,409 orang tercedera.
Jumlah korban terus bertambah dalam beberapa hari ini dan jumlah tersebut boleh menjadi lebih tinggi.
Dikutip dari Kyodo, Ketua Wilayah, Ishinomaki di Wilayah Miyagi mengatakan, jumlah korban yang masih belum ditemukan kemungkinan mencapai 10 ribu orang.
Pada Sabtu minggu lalu, NHK melaporkan sekira 10 ribu orang masih belum ditemukan di kota Minamisanriku di Wilayah Miyagi.
Di tengah usaha penyelamatan terdapat khabar duka banyaknya nyawa yang hilang di sepanjang pesisir timur Pulau Honshu dimana gelombang besar merosakkan lebih dari 55,380 rumah dan bangunan lainnya.
Suara Memanggil-manggil Itu Lenyap
Di pelabuhan perikanan Ofunato yang porak poranda, jarak setiap jengkal besar ertinya. Tanyakan saja kepada Masako Sawasato. Rumahnya sama sekali tak disentuh oleh tsunami raksasa yang menghancurkan pesisir timur laut Jepang menyusul gempa terkuat di negara itu.
Namun, puing-puing dari rumah para tetangga bertumpuk tinggi di kebun sayurnya, hanya beberapa jengkal dari pintu rumahnya. ”Rumah saya selamat sehingga keluarga saya boleh terus tinggal di sini. Namun, teman-teman saya sangat sulit untuk memulai kehidupan dari awal,” kata Sawasato.
Ketika bencana menimpa pada Jumat (11/3), dia sedang memandu kenderaannya, tetapi segera menyadari bahwa dia memerlukan rencana penyelamatan. ”Gelombang laut ada di belakang saya dan lalu lintas sesak sehingga saya keluar dari kereta dan lari,” kata ibu setengah abad itu.
Suaminya, di rumah, menyaksikan dengan kengerian saat air yang bergelora maju ke arahnya. Air itu mencapai sisi rumah mereka, tetapi menjilat hanya beberapa sentimeter sebelum air surut.
Tiga jenazah ditemukan di dekat situ, salah satunya seorang perempuan tua, sahabat Sawasato dan yang tidak dapat melarikan diri dari gelombang yang menerjang.
Lebih dari 600 orang dibawa ke rumah sakit di Ofunato sejak bencana. Dari jumlah itu, banyak di antaranya lanjut usia yang cedera. Namun, yang dirawat di rumah sakit itu juga termasuk mereka yang jatuh sakit di pusat pemindahan.
Warga Ofunato mempunyai sekitar 13 minit untuk menyelamatkan diri dari gelombang besar itu—waktu yang lebih panjang dibanding tempat-tempat lain yang lebih dekat dengan pusat gempa. Namun, besar dan kecepatan gelombang membuat banyak orang tak sempat lari.
Tak terdengar lagi
Ketika gempa menggoncang hari Jumat di Tagajo, Masashi Imai memeluk sekuat tenaga kerusi roda di mana isterinya yang cacat duduk. Rumah mereka bergoyang-goyang. Elektrik padam.
Imai menyalakan radio dan mendengar peringatan itu. Kemudian datanglah tsunami itu. Imai mengangkat tubuh isterinya dan membawanya ke lantai atas rumah mereka.
”Ayah! Ayah!” teriak seorang gadis dari rumah tetangganya. Banyak tetangga Imai tak dapat menyelamatkan diri karena rumah mereka hanya satu lantai. Suara gadis itu tak terdengar lagi.
Dalam gempa terkuat yang pernah tercatat di Jepang itu, garis antara hidup dan mati terbukti sangat tipis — dalam kes Imai hanya satu lantai. Bahkan, di zon bencana di pesisir timur laut, beberapa bangunan dan lingkungan selamat, sedangkan bangunan dan lingkungan lain lenyap.
Pada Jumaat itu, Ayumi Osuga sedang berlatih origami dengan tiga anaknya, berusia 2 sampai 6 tahun, di rumah mereka yang satu lantai di kota pesisir Sendai. Pada pukul 14:46, bumi mulai bergoncang. Cawan dan piring jatuh dari almari dan pecah, tetapi kerosakan tampaknya kecil saja.
Kemudian suami Osuga menelefon. ”Keluar dari situ sekarang!” teriaknya.
Kerana peringatan dengan nada keras itu, pekerja kilang berusia 24 tahun tersebut segera membawa anak-anaknya ke kereta. Osuga bergegas mengemudikan kereta ke sebuah rumah di puncak bukit milik keluarga suaminya dengan jarak 20 kilometer. Dia berhasil mengalahkan gelombang yang bergerak dengan kecepatan sebuah jumbo jet itu.
Hari Ahad, dia kembali bersama suami dan kerabatnya ke sebuah rumah yang sudah tidak ada lagi. Benda yang selamat, antara lain, hanya tiga bungkus lampin. Dengan berlinang air mata, Osuga memasukkan lampin itu ke dalam bag. Dia tahu dia beruntung kerana selamat. ”Keluarga saya, anak-anak saya.... Saya menyadari apa yang penting dalam hidup,” katanya.
Sementara itu, Imai, yang masih penuh emosi, berjalan bolak-balik sepanjang Sungai Sunaoshi yang mengalir melalui kota Tagajo. Sepatu botnya yang setinggi lutut menimbulkan bunyi setiap dia melangkah. Para korban selamat lain yang masih linglung menjelajahi jalan-jalan yang porak poranda.
Saat teringat tetangga-tetangganya yang lebih tua dan kemungkinan besar terkorban di rumah mereka, Imai mencucurkan air mata. ”Sungai ini telah memberi kami begitu banyak, tetapi pada Jumaat itu dia membawa bencana,” kata mantan pekerja hotel berusia 56 tahun itu. Beberapa hari lewat, dia masih merasa bumi bergoncang. (AFP/AP/DI)
No comments:
Post a Comment